Pancaran sinar matahari pagi memeluk langit dengan kehangatan yang menyejukkan hati. Cahayanya
meretas gelapnya malam, menyapu satu persatu kabut yang menggelayut dan memberi sinyal baru bagi alam semesta untuk bergeming dari tidur. Kokok ayam bergema dari rumah-rumah petani, memecah sunyi pagi dengan seruan agar bersiap menyambut hari. Di ladang-ladang yang mulai dilumuri cahaya, para petani bersemangat mulai bergerak, menari dengan cangkul di antara tanaman yang mulai menggeliat. Semuanya membawa harapan, ketekunan, dan keyakinan bahwa kerja keras mereka akan membuahkan hasil yang melimpah.
Itulah gambaran aktivitas pagi di sebuah desa di lereng gunung Wilis yang juga disambut khusus pasangan suami istri yang tempat tinggalnya disudut perempatan desa. Mereka ditemani keempat anak yang semuanya lakilaki bersama seorang nenek. Harapan membuncah direlung hati sepasang suami istri yang tengah menantikan kelahiran anak kelima. Mereka menginginkan bayi yang akan lahir nantinya adalah bayi perempuan dan mereka akan menjadikannya anak bungsu atau berhenti untuk menambah momongan lagi.
Sang ibu sudah merasakan perutnya berkonstraksi dan semakin menguat beberapa jam terakhir. Nenek yang sabar menemani menantunya di usia renta masih sigap menyiapkan kain panjang, baskom dan peralatan melahirkan lainnya. Si bapak yang selalu siaga hari itu ijin tidak masuk mengajar, sepeda kumbang dia sandarkan di bawah pohon jambu air depan rumah siapa tahu diperlukan mendesak. Rumah persalinan belum ada, dokter kandungan pun hanya ada di kota sehingga nenekpun terbiasa dan selalu siap mendampingi kelahiran cucu-cucunya.
Sang ibu mulai mengejan dengan ritme teratur dikomandoi sang nenek. Sesekali nenek teriak mengajari agar saat mengejan tidak hanya besar suara di tenggorokan tetapi dorongan energi diarahkan ke perut agar bayi terdorong terarah. Telur ayam mentah dua butir sudah ibu makan sebagai penambah daya. Akhirnya jabang bayi laki-laki terlahir normal tetapi suasana riang saat itu seketika tergantikan oleh kebingungan. Sang ibu terkulai pingsan bukan karena yang terlahir bayi laki-laki tidak sesuai keinginan tetapi ibu masih merasakan sesuatu yang bergerak-gerak di dalam perutnya sementara tenaga dan darah sudah tertumpah.
“Wah, ada apa ini?” seru nenek juga baru menyadari keadaan. Kekhawatiran menyelimuti keluarga, dan
mereka segera memanggil Pak Gondo, seorang mantri kesehatan yang tinggal dua km dari desa. Dengan
tergopoh-gopoh bapak menarik sepeda kumbang dan sekuat tenaga mengayuh secepatnya. Pak Gondo tiba dengan sigap, membawa peralatan medisnya. Ia segera memeriksa keadaan ibu dan menghibur keluarga yang cemas.
“Jangan khawatir, saya akan melakukan yang terbaik,” ujar Pak Gondo dengan senyum lembutnya. Setelah beberapa saat pemeriksaan intensif Pak Gondo memberikan suntikan ke ibu.
“Ini kembar, masih ada bayi laki-laki di dalam!” serunya
Saat sang ibu kembali sadar, suasana haru campur kaget memenuhi ruangan. Dengan penuh kebahagiaan, akhirnya bayi kedua lahir ke dunia ini. Meskipun terlahir sungsang, kehadirannya tetap membawa sukacita tak terhingga bagi keluarga.
Pasangan suami-istri dan keluarga pun bersyukur dikaruniai si kembar laki-laki dalam keadaan normal dan selamat. Tekad mereka masih kuat dan dalam hati berdoa mudah-mudahan anak ketujuh adalah perempuan. Anak kembar pertama adalah aku yang dipanggil Adi sedangkan kembaranku panggilannya Ali. Alhamdulillah 2 tahun kemudian aku diberikan adik bungsu perempuan.
Sangat panjang kalau diceritakan dan pasti menghabiskan ribuan halaman bila perjuangan ibu mau dituliskan. Tumbuh berkembangnya kami anak-anaknya yang diurus segala keperluan, memberikan curahan kasih sayang mulai dari bayi sampai kami semua besar-besar sungguh sebuah keajaiban. Ibu adalah sosok perempuan yang tak tergantikan. Ia mengayomi rumah tangga dengan kegigihan yang tak tertandingi, mengelola keuangan keluarga yang tidak lebih dari cukup dengan keahlian luar biasa, dan menjadi pilar motivasi bagi semua anggota keluarga dengan kelembutan yang tak terhingga.
Aku teringat pada suatu sore, ibu menemani kami beberapa anaknya yang sedang memetik buah jambu air di halaman. Saat itu aku di semester akhir kuliahku sedang libur dan usiaku sekitar 23 tahun. Ibu menanyakan sesuatu yang penting saat itu.
“Adi, kapan kamu rencana menikah?” tanya sang ibu dengan nada penuh kelembutan.
Sebuah pertanyaan yang tidak pernah kupikirkan tiba-tiba melayang begitu saja di udara. Untaian kata kata merambat dan menelusup ke lubang telinga dan kurasakan denting melenting vibrasinya saat menabrak gendang telinga. Terdengar begitu merdu sehingga tertanam di otakku dan aku berpikir harus mencoba menjawabnya.
“Nanti Ibu, kalau sudah bekerja.”
“Nikahlah saat umurmu 25 tahun, saat selesai kuliah.
Tidak harus mapan yang penting tekun kerja,” ucap ibu memandang aku sambil tersenyum dengan mata penuh kasih. Alhamdulillah, di usia 26 tahun akupun berani meminang seorang gadis dan dikaruniai 4 orang anak, 2 putra dan 2 putri yang saat ini sekolah sambil menekuni tahfidz al-Qur’an. Aku yakin semuanya berkat doa ibu.
Di kedalaman mata ibu, terpancar kebijakan yang begitu kuat. Seorang ibu yang begitu mengenal anaknya tahu bahwa aku punya tekad kuat, selalu berusaha memberikan yang terbaik dan merasakan bahwa aku ingin mengejar mimpi-mimpi. Ibu memiliki firasat yang sangat kuat sehingga aku harus sering minta nasihat-nasihatnya. Orang bilang ibu bisa mengubah haluan takdirmu sehingga akupun harus sering-sering meminta doanya. Dan aku yakin seorang ibu adalah figuran cinta tanpa syarat sehingga rela mengorbankan hidupnya untuk anak-anak yang sangat disayanginya.
Salah satu tulisan dari Buku Antologi Pelukan Sang Ibu Penerbit Alineaku Publisher ISBN 978-623-8484-31-7 Cetakan Februari 2024
-❀❈❀-