Terasa lebih berat saat kuangkat sepatu diujung kedua kakiku untuk bergantian melangkah. Demikian juga tas yang menggantung di bahu seolah berisi seratusan buku padahal hanya tiga buku  tipis tersimpan didalamnya. Pandanganku  nanar menatap jalanan dibawah terik sinar matahari. Terasa ngilu seluruh persendianku tetapi kujaga tetap di jalur trotoar menuju Masjid kampus memenuhi panggilan sholat dzuhur. Aku ingin mendinginkan ruang pemikiran yang panas setelah dari pagi hari mengikuti awal perkuliahan sebagai mahasiswa baru.

Sebenarnya ada sesuatu yang sedang membebani fikiran dan juga mengguncang hati nuraniku. Sebuah nasehat sederhana namun berarti sangat dalam terucap dari seorang dosen kharismatik disela-sela memberikan materi kuliah. Beliau adalah Prof. Sugimin WW dan barangkali dari data statistika mahasiswa baru yang diterima yang masuk Fisika adalah pilihan kedua.

“Hidup adalah menerima kenyataan akibat kesalahan pilihan,” ucap Prof Sugimin sambil mendongakkan dagu sedikit ke atas disertai gerakan kedua kelopak mata disipitkan dan melirik ke kami.  Pandangan matanya pelan menyapu setiap wajah mahasiswa satu persatu. Jemari tangan kirinya mengusap-usap jenggot yang tidak begitu lebat sementara tangan kanannya  menyilang ke bawah ketiak bagian kiri. Saat pandangan mengarah kepadaku, terasa seakan beliau mampu membaca fikiran dan perasaanku. Perasaan dari seseorang yang gagal masuk kuliah di Teknik Arsitektur sebuah perguruan ternama di Indonesia.

Abi adalah nama panggilan keseharianku dan kebanyakan teman perempuan begitu memangilku. Kadangkala dipanggil Hadi oleh teman laki-laki dan semua sah saja memanggil demikian karena aku memiliki nama lengkap Mahadi Abisatya. Mahadi Abisatya yang memiliki arti mulia yang berhati jujur disematkan padaku dari orang tua tercinta sebagai pengharapan kepada putranya.

Semenjak kecil aku suka menggambar, membuat coretan-coretan di kertas, tembok atau kaca yang penuh debu. Kelas lima SD pernah mewakili sekolah dalam lomba menggambar tingkat kecamatan walaupun tidak mendapat juara. Saat SMP menyukai kaligrafi dan tulisan berseni dan di tingkat SMA aku aktif mengikuti ekstrakurikuler seni lukis dan desain. Ada kenangan tersendiri  akhir kelas tiga saat lukisan abstrak yang aku buat diatas kanvas dengan teknik menyiram dan menyemburkan cat berwarna-warni mendapat apresiasi dari sekolah.

Teknik Arsitektur kutandai sebagai pilihan pertama dan Fisika sebagai pilihan kedua saat mendaftar di Perguruan Tinggi. Saat pengumuman tiba dengan berdebar-debar kucari namaku  di harian koran pagi. Tercantum Mahadi Abisatya di jurusan Fisika ITS Surabaya. Terbersit rasa kecewa tidak diterima di Teknik Arsitektur tetapi masih terhibur karena diterima kuliah walaupun bukan pilihan pertama mengingat ultimatum Bapak kalau tidak diterima di perguruan tinggi negeri jangan kuliah dulu.

“Manusia dalam hidupnya dan selama kita hidup akan dihadapkan dengan pilihan-pilihan. Suatu saat kita harus memilih beberapa kesenangan tetapi kita juga dihadapkan pilihan-pilihan untuk menyelesaikan permasalahan. Kita yang diberikan kelebihan akal harus berfikir mana yang harus dipilih,” kata Prof. Sugimin WW

“Kalau dua pilihan terlihat jelas,  ada baik dan buruk maka tentu kita memilih yang baik. Tetapi kalau dua pilihan itu kita belum tahu mana yang lebih baik dari yang baik, misal jurusan kuliah di perguruan tinggi maka kalaupun tidak sesuai dengan harapan, kita harus berhusnudzon barangkali itu yang terbaik disisi Allah untuk kita,” jelasnya melanjutkan.

Dengan penuh kesabaran beliau mengajar, selalu menyelipkan nasehat-nasehat dan cerita yang menginspirasi, mengguggah semangat dan kesadaran diri. Masih ada Pak Edy Yahya, Pak Mahmoud Zaki, Pak Agus Purwanto, dan dosen lainnya yang menginspirasi dengan ciri khas dan karakter masing-masing.

Alhamdulillah, selesai sholat dzuhur terasa tenang dan jauh berkurang beban fikiran. Hanya perlu banyak belajar dan memahami diri untuk bisa menghilangkan sepenuhnya kekecewaan. Aku duduk bersandar diteras masjid sambal memandang pohon ketapang kencana yang ditanam berjajar rapi di halaman masjid dan tepian jalan. Dahan, ranting dengan duannya membentuk paying pelindung sehingga cuaca yang panas menjadi teduh saat melintas dibawahnya.

“Assalamu’alaikum Abi,” sapa Lutfi Kurniawan menyalami. “Wa’alaikumussalam Lutfi. Bagaimana masih ada kesibukan atau mau pulang?” jawabku sekalian bertanya

“Tidak ada. Ayo langsung pulang saja.” Sahut Lutfi

Luthfi memiliki tinggi badan pada kisaran sekitar 163 – 165 cm, warna kulitnya sawo matang dengan gaya rambut lurus dan penampilannya selalu rapi.  Luthfi berasal dari Lamongan Jawa Timur dan selama kuliah tinggal di rumah tantenya di kawasan Mulyorejo sekitar 5 km dari kampus. Setiap pagi Luthfi menjemputku dengan motor honda bebek C70 antiknya menuju kampus. Kami sering bersama-sama hampir setahun karena pada tahun berikutnya Luthfi pindah kuliah di Kedokteran Umum Unair Surabaya.

Banyak teman-teman lain yang baik sehingga kami bersama menjadi menjadi asisten dosen di laboratorium fisika, berpatisipasi tampil sebagai bassis band musik di acara silaturahmi dengan alumni yang baru lulus. Bersama teman yang lain aktif mengikuti kegiatan mahasiswa beladiri Jiu-Jitsu dan  mendesain sticker Jiu-Jitsu untuk dijual. Hikmah yang luar biasa bersama teman-teman yang baik aku tidak terpaksa lagi di kuliah di Fisika tetapi mampu untuk berkembang bersama.

Rutin setiap bulan sekali mengambil waktu di akhir pekan aku pulang ke kampung halaman yang berjarak 2 jam perjalanan naik bus umum. Satu atau dua hari sudah cukup berlibur dan bertemu dengan orangtua dan keluarga

“Mak, Abi berangkat dulu ya, do’akan selalu,” pintaku sambil mencium punggung telapak tangan Mak. Demikian juga  aku mencium tangan Bapak saat datang atau pamit . Sering kudapati di kesunyian malam Mak dan Bapak biasa sholat tahajjud dan memanjatkan do’a untuk kebaikan anak-anaknya.

Dua tahun kuliah aku kos disekitar kampus bersama-sama mahasiswa ITS lainnya. Setelah memiliki motor vespa ekslusive warna biru, aku beberapa kali pindah kos untuk sekedar mencari pengalaman lain dari lingkungan diluar akademik. Saat kos di kawasan industri Rungkut bertetangga kamar dengan pegawai dan pekerja industri selama setahun.

Saat kuliah tingkat akhir aku harus melakukan penelitian di PT Petrokimia Gresik sehingga aku memutuskan pindah kos di Surabaya Utara di lingkungan pegawai keuangan negara. Tetap menuntut ilmu di kampus dan belajar di berbagai hal di lingkungan yang berbeda-beda aku mendapatkan pengalaman yang banyak yang akan bermanfaat bagi pengembangan karierku nantinya. Ahamdulillah, setelah bergulat menyelesaikan Skripsi dan Seminar akhirnya aku diwisuda sebagai Sarjana Sains Jurusan Fisika ditemani kedua orang tua.

Selesai wisuda, terakhir aku pindah kos ke Surabaya Selatan berdekatan dengan Asrama Pesantren Mahasiswa IAIN Surabaya. Pertimbangan memilih kos dekat dengan IAIN selain lebih dekat dengan tempat mengajar adalah usia 24 tahun sudah waktunya mencari calon pendamping hidup yang cantik dan sholehah seperti keinginan kebanyakan kaum adam. Untuk bisa bisa mengenal seseorang maka peluang terbesar adalah memasuki lingkungan mereka yaitu di sekitar kampus IAIN.

Sepucuk surat aku lihat terselip dibawah pintu kamar kos saat pulang dari mengajar di LBB Tennos yang memang sudah ditekuni sebelum lulus.

“Mas Abi, tadi ada orang dari Yayasan Al Falah mau ketemu tetapi begitu dilihat pintu masih terkunci mereka selipkan surat itu,” kata Ahmad menjelaskan.

“Ok, Ahmad. Terima Kasih ya,”jawabku

“Sama-sama Mas Abi,” sahut Ahmad

Ahmad adalah mahasiswa IAIN Surabaya yang bertetangga kamar kos denganku. Aku buka amplop putih dan kuambil kertas yang terlipat didalamnya. Pesan di surat berisi permintaan untuk datang ke Yayasan Al Falah Surabaya besok jam 09.00. Keperiksa jadwal mengajar, untungnya tidak bertabrakan dengan jadwal mengajar.

Sekitar jam 08.45 aku sudah sampai di Kantor Yayasan Al Falah yang posisinya berseberangan dengan Masjid Al Falah. Setelah ijin masuk dan menunjukkan lembar surat yang kuterima kemarin aku diitemui seseorang yang ramah bernama Ustadz Rohmat. Beliau sampaikan informasi dibutuhkan tenaga pengajar Fisika di lembaga pendidikan yang dibangun seorang Petinggi Negeri kelahiran Sulawesi Selatan. Aku diberi waktu  selama dua hari menjawab dan Ustadz Rohmat memberikan nomor telpon kantor agar aku menghubungi beliau kalau berminat.

Tiada kata santai bagi orang yang berakal dan beradab

Maka tinggalkanlah kampung halaman dan merantaulah

Bepergianlah, kau akan mendapat ganti orang yang kau tinggalkan

Berusahalah, karena nikmatnya hidup ada dalam usaha

Sungguh, aku melihat air yang tidak mengalir pasti kotor

Air akan bersih jika mengalir, dan akan kotor jika menggenang

Kalau tidak keluar dari sarangnya, singa tak akan mendapatkan mangsa

Kalau tidak melesat dari busurnya, anak panah tidak akan mengenai sasaran

Matahari kalau berada di porosnya

Niscaya semua orang, baik Arab maupun non arab pasti bosan

Timah akan seperti tanah, kalau berada di tempatnya

Kayu cendana pun hanya akan seperti kayu bakar, bila menetap di tanah

Syair Imam Syafi’i di atas menginspirasi dan memotivasi aku sehingga berani mengambil sebuah keputusan besar terkait masa depanku. Setelah mempertimbangkan dan ijin dari orangtua aku mendatangi Ustadz Rohmat di Yayasan Al Falah. Aku diperkenalkan juga dengan Ustadz Mim Saiful Hadi dan Ustadz Ali Muaffa. Wawancara dan tes mengajar dilanjut pembekalan selesai dilakukan. Informasi Ustadz Rohmat aku akan berangkat bersama 3 guru yang lain sepekan lagi.

Sebuah kapal besar bersandar di Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya dan di badan kapal tertulis “Tidar”. Nama kapal yang akan kunaiki menyeberang menuju Makassar Sulawesi Selatan  adalah Kapal Tidar. artinya kapal laut yang besar bernama terlihat dari ruang tunggu penumpang. Ini akan menjadi pengalaman pertama besar bersandar di pelabuhan Tanjung Perak Surabaya. Abi menatap cermat kapal yang akan membawanya ke Sulawesi menyeberangi selat Makassar. Diperjalanan Abi takjub, begitu berada ditengah laut hanya air dilihat panjang membentang sampai batas cakrawala. Tidak ada daratan terlihat, tidak ada burung terbang, yang terdengar hanya deburan ombak menghantam buritan kapal. Hidup di berbagai lingkungan yang berbeda saat masih berstatus mahasiswa membentuk karakter sehingga tidak ragu menuju daerah dengan lingkungan baru.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *