Antologi Surga Dalam Pelukan

Udara dini hari di Enrekang pada musim kemarau tahun ini terasa dingin mencekat. Baru saja aku terbangun mengikuti ritme detak jam biologis tubuhku yang beberapa tahun terakhir berubah. Seperti malam-malam sebelumnya, jam 09.30 WITA bila tidak ada pekerjaan mendesak aku berangkat tidur dan sekitar jam 03.40 WITA akupun biasa terbangun.

Aku sibak selimut pelan-pelan agar istriku tidak terganggu. Aku duduk sejenak di tepian kasur memberi kesempatan agar kesadaran pulih sepenuhnya setelah seluruh organ jasmani dan fikiranku istirahat kecuali polah otot lurik  jantungku yang terus bekerja tak kenal lelah memompa darah ke sekujur tubuhku.

Selintas fikiranku terkoneksi dengan memori, indera penglihatanku samar menembus ruang waktu menuju ke kediaman orangtuaku nun jauh di Nganjuk. Pada jam-jam seperti saat ini kedua orang tuaku yang sudah renta selalu memulai aktivitas harian yang menjadi kebiasaan baik. Bapak dengan usia menginjak 87 tahun dan ibu 78 tahun berjalan tertatih menuju keran pancuran air. Setelah berwudu kemudian melaksanakan sholat tahajud dan berdo’a dengan khusyuk. Ibuku bilang mereka berdua selalu memanjatkan do’a-do’a terbaik untuk anak-anaknya.

Kecintaan orang tua kami kepada anak-anaknya tidak perlu diragukan. Mereka tidak perlu membuktikan apapun karena yang kami rasakan di keseharian sejak kecil sampai saat ini mereka selalu mencurahkan dan mengajarkan kepada kami tentang cinta dan kasih sayang.

Bapak adalah perintis pendidikan di desa sewaktu gedung SD baru dibangun pada tahun 1970. Bahkan setelah pensiun 27 tahun yang lalu dari pekerjaan yang amat dicintainya sebagai seorang guru, warga desa setiap bertemu selalu hormat dan mereka memanggil bapak dengan sebutan Mbah Guru. Dan kebiasaan bapak setiap sore adalah membuat catatan-catatan kecil di buku tulis “Sinar” setelah selesai membaca buku.

Sosoknya berwibawa dan berbicara seperlunya, sederhana, ulet dan kreatif.  Sandal baru yang dibeli dari toko akan dijahit dengan tangan sebelum dipakai. Baju atau celana yang kebesaran pasti akan dipermak sehingga pas ukurannya. Kata ibu, bapak tidak pernah pergi ke warung makan sendirian mengikuti selera lidahnya tetapi selalu mengajak keluarga pergi ke warung sate madura favoritnya. Untuk merapikan rambut, semua anak-anak laki-laki adalah tukang cukurnya. Aku ingat setiap liburan kuliah sebulan sekali kembali ke desa bapak minta dirapikan rambutnya. Mungkin itu cara bapak menjaga kedekatan dengan anak-anaknya di keluarga.

Ibu adalah pengurus rumah tangga yang sangat tangguh, pengelola keuangan keluarga yang handal, motivator ulung penuh kelembutan. Kelembutannya sehalus sutera dan  ketulusannya seputih kapas. Sama seperti bapak, ibu jarang sekali marah kalau kami berbuat kesalahan kecuali saat kami keasyikan bermain dan lalai menunaikan sholat.

Kami bertujuh saudara ditambah tiga orang kemenakan bapak, tinggal bersama saat aku masih SD. Anak pertama sampai keenam laki-laki sedangkan si bungsu seorang perempuan. Kami anak ke lima dan keenam adalah saudara kembar. Beberapa tahun lalu saat masih kuat bepergian orang tua bergantian menjenguk anak cucunya yang terpencar di penjuru Indonesia. Ada di Jawa, Sumatra, Nusa Tenggara Timur dan aku yang bertempat tinggal di Enrekang Sulawesi Selatan.

Tidak terasa 20 menit berlalu, saat fikiran dan ingatan masa lalu terhubung menciptakan ruang waktu khayal sehingga tergambar sejenak kehidupan keluarga dan orangtuaku  tercinta. Aku pun beranjak dan kulangkahkan kakiku menuju tempat wudu berikhtiar mengikuti kebiasaan orangtuaku kemudian bersujud dan bermunajat untuk keluarga utamanya kedua orangtuaku

Waktupun berlalu, sepulang dari masjid sholat subuh  kulanjutkan fantasiku. Bergegas kuambil album foto, kubalik-balik foto masa kecilku bersama orangtua. Mengenang masa-masa pertumbuhan dan perkembangan saat masih di TK, SD, SMP, SMA sampai momen wisuda sarjana. Terakhir foto dokumentasi saat reuni seluruh keluarga besar lebaran Idul Fitri 1444 H bulan April lalu sungguh berkesan. Sungguh mengharukan mengenang semuanya di tanah perantauan. Ingin rasanya menuliskan betapa besar  cinta dan kasih sayang orang tua kepada kami semua.

Aku bangkit dan kulangkahkan kaki keluar pintu. Kuhela dalam-dalam udara pagi yang segar menyebar. Semburat mentari pagi menerobos sela-sela dedaunan tabebuya. Sakura Brasil ini sudah mulai menampakkan bunganya walau baru satu dua kelopak. Kokok ayam jantan saling bersahutan, burung-burung meloncat antar ranting sambil berkicau menciptakan harmoni seolah menyebarkan pesan untuk selalu bersyukur dan bergembira.

Aku tarik selang pompa air lalu kusirami bunga puring, paku-pakuan, lombok, rumpun bambu dan anthurium atau gelombang cinta. Empat pot bunga gelombang cinta daunnya hijau tebal segar melebar, tumbuh subur dan terlihat kuat memancarkan auranya. Kemudian akupun bersiap menunaikan kewajiban profesi sebagai guru untuk mengajarkan ilmu tentang cinta dan kasih sayang ke sesama dan semua makhluk Allah meneruskan pancaran cinta dan kasih sayang dari orangtua yang tidak lekang oleh waktu.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *