Jum’at pagi sekitar jam 08.40 WITA tertanggal saya menginjakkan kaki dipasir pantai di Wiringtasi, Kecamatan Suppa Kabupaten Pinrang. Lokasi yang kami tuju adalah tempat Rihlah Ukhuwah yang sedari kamis sudah dimulai. Dan saat berjalan di air pantai yang asin sempat bercerita dengan salah satu Sahabat Konservasi Madani bahwa mereka adalah kelompok masyarakat penggerak konservasi (Kompak) dengan jenis pelestarian penyu.
Pantai di Wiringtasi memiliki keadaan yang unik, dimana berjarak sekitar 1 km dari garis pantai laut hanya berkedalaman 1 meter atau kurang yang dikelilingi oleh karang atol sehingga ombal laut sudah pecah di batuan karang pinggir atol. Kondisi tersebut sangat aman bagi anak-anak yang mau berenang di pantai. Berbeda dengan pantai Ammanni yang dekat bibir pantai laut nya dalam dan berombak besar.
Yang menarik, saat istirahat siang selepas sholat jum;at sambil berteduh dibawah pohon waru dengan daun berbentuk lambang cinta saya memperhatikan di tepian halaman belakang ada badan perahu terbalik, dan pandangan nun jauh ditengah laut terdapat perahu jenis sandek, perahu khas masyarakat Sulawesi Barat. Adakah kaitan daerah sekitar Wiringtasi atau Desa Lero dengan Sulawesi Barat?
Di sebuah tanjung elok yang menjulang di hadapan Parepare, di mana debur ombak menyapa lirih bibir pantai, terukirlah kisah sebuah peradaban. Di sinilah, di tanah yang kini dikenal sebagai Desa Lero, sebuah legenda bersemi dari tangan seorang pelaut ulung bernama La Bora.
La Bora, sang pengembara samudra yang berasal dari tanah Mandar yang kaya rempah, adalah seorang sosok yang tak sekadar mengarungi lautan luas. Jiwanya merindukan daratan, tanah subur yang bisa ia jadikan rumah. Dalam salah satu pelayarannya, ia singgah di Ammani, sebuah pelabuhan kecil yang kini menjadi bagian dari Kabupaten Pinrang. Di sanalah, takdir mempertemukannya dengan Sombae Ri Gowa, penguasa yang sedang dalam perjalanan menuju Makassar.
Dengan jiwa ksatria, La Bora mengantar Sombae Ri Gowa hingga ke pelabuhan tujuan. Sang penguasa Gowa hendak membalas jasa La Bora, namun sang pelaut menolak dengan tulus. Sebagai gantinya, La Bora mengungkapkan keinginannya untuk menetap di sebuah tanjung yang pernah ia lihat di seberang Parepare.
Sombae Ri Gowa yang terkesan dengan ketulusan La Bora kemudian menuliskan surat permohonan kepada Datu’ Suppa, penguasa wilayah tempat tanjung itu berada. Dengan restu Datu’ Suppa, La Bora pun kembali ke tanah kelahirannya, mengajak serta keluarganya untuk memulai kehidupan baru di tanah yang telah memikat hatinya.
Seiring berjalannya waktu, kabar tentang keindahan dan keramahan tanah Lero pun menyebar ke seluruh penjuru tanah Mandar. Banyak keluarga yang kemudian menyusul jejak La Bora, membangun rumah-rumah sederhana di sepanjang pantai yang indah.
Demikianlah, dari sebuah pertemuan tak terduga di tengah lautan luas, lahirlah sebuah peradaban baru di ujung tanjung. Desa Lero, yang kini menjadi saksi bisu perjalanan waktu, menyimpan kisah tentang keberanian, ketulusan, dan semangat juang seorang pelaut yang merintis kehidupan baru di tanah yang asing.