Imam Ahmad rahimahullah menasihatkan,

“Keselamatan ada sepuluh bagian, seluruhnya ada dalam sikap taghaful. Tanda kecerdasan seseorang ialah melupakan perlakuan tidak menyenangkan orang lain terhadap dirinya, seolah ia tidak mendengar ucapan apa pun. Termasuk alamat kebodohan ketika engkau memikirkan seluruh ucapan orang lain tentangmu, karena Allah menciptakan kita untuk memikirkan firman-Nya, bukan untuk memikirkan perkataan manusia”


Udara di ruang rapat terasa sesak, bukan karena jumlah guru yang hadir, tapi disebabkan ketegangan yang menjalar di antara mereka. Rapat hari Rabu, 9 Oktober 2024, yang seharusnya menjadi forum diskusi yang konstruktif, berubah menjadi ajang pelampiasan diri Argha Majendra, supervisor internal yang dikenal dengan sifat narsistiknya, dan Bayu Aji, pembina senior yang aktif berinovasi

Sepertinya kecemburuan telah lama mengakar dalam diri Pak Argha. Ia merasa bahwa kontribusinya sebagai supervisorkurang dihargai secara adil. Terlebih lagi, ia mengetahui bahwa Bayu, yang sudah menjadi PNS, mendapatkan tambahan gaji dari lembaga. Hal ini membuatnya semakin merasa iri dan tidak puas.

Tidak ada yang benar tindakan Bayu dimata pak Argha. Saat Bayu belum memiliki kendaraan, dibilang bodoh karena mendapat tunjangan profesi tetapi belum mampu beli kendaraan. Begitu Pak Bayu sudah memiliki kendaraan, dicurigai dan dituduh yang tidak benar.

Selama rapat, Argha terus mencari-cari kesalahan Bayu. Setiap kali Bayu menyampaikan ide atau pendapat, Argha langsung memotong dengan nada tinggi dan menuding-nuding. Argha seakan merasa bahwa Bayu tidak pantas mendapatkan perlakuan istimewa dari lembaga.

“Saya tidak mengerti mengapa Anda mendapatkan tambahan gaji, Pak Bayu. Padahal Bapak sudah PNS,” ujar Argha dengan nada sinis.

Bayu berusaha untuk tetap tenang. Ia menjelaskan bahwa tambahan gaji yang ia terima adalah bentuk penghargaan atas dedikasinya selama 25 tahun mengabdi dan mengembangkan program-program inovatif di sekolah. Itupun, bukan atas permintaan Pak Bayu tetapi kebijakan Pimpinan Lembaga. Namun, Argha tetap tidak terima.

Pak Bayu selaku pembina senior yang suka membaca buku atau artikel psikologi faham dan sudah lama mengamati perilaku Pak Argha, bahwa di balik sikap narsistik itu, ada luka dan kerentanan yang mendalam. Ia tahu bahwa Pak Argha kemungkinan mengidap gangguan kepribadian narsistik atau Narcisstic Persinality Disorder (NPD). Meski begitu, ia tidak pernah mengungkit hal ini di depan umum. Bayu percaya bahwa setiap orang berhak mendapatkan kesempatan untuk berubah.

Ketika Pak Argha melontarkan tuduhan yang tidak berdasar kepada Bayu, guru-guru lain tampak terkejut. Namun, Pak Bayu tetap tenang. Dengan sabar dan tegas, ia membantah satu per satu tuduhan Argha. Ia menunjukkan data dan fakta yang jelas, membuktikan bahwa tuduhan Argha tidak berdasar. Dalam hati, Pak Bayu merasa iba kepada Argha. Ia tahu bahwa Argha sedang berjuang dengan masalah pribadinya. Namun, ia juga tidak bisa membiarkan Pak Argha terus menyakiti orang lain.

Setelah perdebatan panjang, akhirnya Pak Argha mengakui kesalahannya. Ia meminta maaf kepada Bayu di depan semua guru. “Saya minta maaf, Pak Bayu tidak salah,” ucap Pak Argha dengan suara lirih.

Bayu tersenyum tipis. “Tidak apa-apa, Pak. Kita nanti selesai rapat saling memaafkan dan keluar pintu seperti tidak terjadi apa-apa.”

Begitu rapat ditutup, Pak bayu yang berusia lebih muda menghampiri Pak Argha kemudian bersalaman saling mema’afkann dan tidak lupa memberikan pelukan kasih sayang. Melihat kejadian itu, guru-guru lain merasa lega. Pak Bayu Aji hannya berharap agar kejadian ini bisa menjadi pelajaran bagi semua orang.

Genre : Fiksi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *