Jemari kotor tanah terhenti sejenak, mengikuti nyaring ponsel memutus hening pagi. Suaranya mengusik ketenangan alam yang tengah kuresapi sambil membersihkan halaman belakang. Sebuah pesan singkat dari Nayla, putri kedua, memberitahukan kabar gembira sekaligus membuatku sedikit terkejut. “Assalamu’alaikum Pak, hari ini jadwalnya nelpon,” tulisnya. Segera kubalas bahwa Bapak siap menunggu videocall dari Nayla.
Layar ponsel menampilkan wajah ceria Nayla. “Assalamualaikum, Pak,” sapa putriku dengan semangat. “Bapak sehat?” tanyanya penuh perhatian.
“Wa’alaikumussalam. Alhamdulillah sehat, kamu bagaimana?” jawabku.
“Alhamdulillah, baik Pak,” ujarnya, lalu tersenyum lebar. “Pekan depan libur semester, jadi aku dan Fikri mau pulang ke Enrekang atau ke rumah Nenek di Nganjuk?”, tanya Nayla. Fikri adalah adik Nayla yang juga sedang kuliah di Wadi Mubarak Bogor.
“Bagaimana kalau kamu ke rumah Nenek saja, sudah lama kalian tidak bertemu mereka kan?,” kataku.
“Iya, Pak. Awalnya sih mau ke rumah Enrekang tapi karena liburnya pendek, jadi lebih baik liburan ke Nganjuk saja. Nanti kalau liburan panjang baru ke Enrekang, ya?” tanyanya.
“Iya, mungkin itu yang terbaik,” jawabku sambil berusaha tersenyum. Dari lubuk hati terdalam seolah bertanya ke diri sendiri
“Kamu tidak ingin pulang ke Nganjuk juga ketemu Bapak dan Ibumu?”, terngiang-ngiang siang menjadi angan-angan, malam menjadi buah mimpi. Setelah berdiskusi dengan istri saat makan malam diputuskan ijin ke pimpinan pulang ke Nganjuk dalam waktu 4 hari mulai hari kamis sampai ahad.
Klakson mobil penjemput datang, dengan sigap sopir mengendalikan mobil meliuk-liuk keluar kota Enrekang menuju Bandara Hasanuddin. Tanpa bagasi akupun ceck-in mandiri di hadapan perangkat mesin otomatis dan boarding pass ada digenggaman. Tepat pukul 15:10 WITA Sriwijaya Air SJ-567 pun take off dengan gagahnya.
‘Jetlag’ kurasakan bukan karena terbang melintasi beberapa zona waktu berbeda namun ketidakmampuan membendung hasrat untuk segera menjenguk tanah kelahiran. Pesawat mendarat dengan mulus, dan saat menginjakkan kaki di bandara Juanda, deru rindu sudah menggelegar di dada. Surabaya, kota yang pernah kuringgali selama kuliah, kini kembali menjadi gerbang menuju pelukan hangat keluarga. Taksi online meluncur cepat, membelah hiruk pikuk kota, membawa hatiku menuju pusat transportasi darat.
Terminal Bungurasih, keramaiannya tak ubahnya seperti dulu. Masuk ke jalur bus patas dihalangi portal mini yang bisa dilewati dengan scan barcode. Bus patas Sumber Rahayu Surabaya – Yogya siap melaju, membawaku semakin dekat dengan muara kerinduanku.
Tahu goreng kotak-kotak, jajanan khas perjalanan, sukses membangkitkan nostalgia. Setiap gigitannya terasa seperti memeluk masa kecil. Rasa pedas lombok hijau menyengat lidah, tapi juga menghangatkan hati. Kondekturpun menyapa sambil mengulurkan tiket yang ditukar dengan sejumlah rupiah. Perjalanan panjang tak lagi terasa melelahkan, semakin mendekat rumah semakin bersemangat.
Mobil berhenti tepat di depan terminal bus Nganjuk. Pintu terbuka lebar, memperlihatkan wajah-wajah yang sudah sangat dirindukan. Ibu, yang sudah berusia 85 tahun dengan senyum lebarnya, menyambutku di pintu lobi. Di sampingnya, kakak tertua bersama 2 anakku yang tiba mendahului dari Bogor terlihat tersenyum gembira.
“Adi!” seru Ibu, sambil memelukku erat. Aku cium tangan terindah yang kukenal diiringi air mata haru.
“Alhamdulillah, akhirnya sampai juga, Bu,” jawabku. Aku jabat tangan juga kakak tertuaku.
“Ayo, masuk. Sudah lama tidak bertemu,” ajak kakakku sambil membuka pintu mobil seakan membisikkan sesuatu, “Selamat datang di rumah.”
Perjalanan berlanjut menuju rumah, rumah yang menyimpan sejuta cerita. Di tengah perjalanan, kami mampir ke warung pecel tumpang yang terkenal di Nganjuk. Suasana warungnya sangat ramai. Banyak orang yang sedang makan di sana, sambil bercanda gurau. Bau harum bumbu pecel memenuhi udara.
“Wah, pecel tumpang ini masih seenak dulu,” ucapku sambil menikmati sepiring penuh pecel.
“Iya, Nak. Rasanya tidak pernah berubah,” timpal Ibu.
Aku memperhatikan orang-orang yang ada di sekitarku. Ada yang sedang makan bersama keluarga, ada juga yang sendirian. Mereka semua terlihat menikmati makanan mereka.
Bunyi deruman mesin mobil perlahan mereda, menandakan perjalanan sampai di pelabuhan hati. Rumah, dengan segala kehangatannya, menyambut kedatangan kami. Ketika pintu mobil terbuka, sejuknya angin petang menerpa wajah. Bapak, sang nahkoda rumah tangga, duduk di sofa, siap menyambut kami dengan pelukan kasih sayang.
“Adi dari Sulawesi?” tanyanya lembut. Pertanyaan sederhana itu menusuk relung hati. Di usia senjanya, Bapak masih mengenali suara dan wajah anaknya.
“Assalamu’alaikum, Bapak masih ingat saya, Pak?” tanyaku lirih.
“Wa’alaikumussalam, tentu saja, Nak. Kamu kan anakku yang paling jauh.” Senyum tipis mengembang di bibirnya yang dikelilingi kumis dan jenggot putihnya di usia 97 tahun.
Aku bersimpuh, mencium tangannya. Hangatnya terasa menenangkan. “Alhamdulillah, Bapak masih sehat,” gumamku.
Kami duduk berdampingan, menikmati suasana sore yang tenang. Bapak bercerita tentang kabar keluarga, tetangga, dan kampung halaman. Aku mendengarkan dengan seksama, sesekali menyela dengan pertanyaan.
“Saya dulu pernah ke Sulawesi 2 kali ke rumahmu,” ucap Bapak.
“Betul Pak. Saat pernikahan saya dan kelahiran Fikri Pak,” jawabku antusias.
Malam itu, kami berkumpul sambil makan bersama di meja dapur. Suasana penuh keakraban menyelimuti rumah. Canda tawa pecah, cerita masa lalu diungkit kembali. Aku merasa begitu bersyukur bisa kembali ke rumah. Puas saling bertukar cerita baik keadaan di Enrekang Sulawesi Selatan maupun di Nganjuk kampung kelahiran. Nayla dan Fikripun menyimak semua cerita yang mungkin sebagian baru didengarnya.
Kami bertiga kemudian bergeser ke teras rumah dilantai atas, setelah minta ijin ke orang tua yang kebetulan juga waktunya istirahat. Di bawah langit malam yang bertabur bintang, aku dan kedua buah hatiku larut dalam obrolan hangat. Semilir angin malam membelai wajah kami, sejuk dan menenangkan.
Aku bernostalgia, membagi kisah masa kecil yang penuh warna. Bagai burung merpati yang bebas terbang mengejar mimpi, namun selalu punya sarang untuk pulang. Di rumah ini, Bapak dan Ibu adalah akar yang kokoh, tempatku berteduh dari badai kehidupan. Walaupun kadang kala aku bersikap bagai anak kucing yang nakal, mereka selalu menyambutku dengan tangan terbuka, bagai pelita yang menerangi jalanku.
Di rumah ini pula, curahan kasih sayang mereka bagai embun pagi yang menyejukkan jiwa. Kini, saat aku telah dewasa dan memiliki empat buah hati, harapanku mereka juga merasakan hal yang sama saat kembali ke rumah orang tuanya di Enrekang.
Tiket Ke Rumah Hati, salah satu tulisan pada Buku Antologi RUMAH-Tempat Hati Kembali