Hujan baru saja reda, namun awan comulonimbus yang hitam tebal bergulung-gulung masih menyelimuti langit kota. Seolah alam memberikan tanda bahwa hujan susulan segera tiba. Adzan magrib berkumandang, aku pun mengendarai motor menuju masjid terdekat diiringi gerimis lembut mengusap muka dan lenganku dengan manja.

Namun, saat aku sedang sholat, hujan bagaikan air bah yang dicurahkan dari langit. Derasnya tak henti, disertai petir dengan kilatan blitz ribuan volt yang menyinari kota disusul gemuruh guntur yang menggelegar. Jamaah masjid pun tertahan, menunggu sholat Isya. Ada yang mengaji, berbaring santai, atau bercerita, sesekali menengok ke luar untuk melihat air hujan yang menggenangi halaman masjid.

Banjir Bandang Melanda Kota Kecilku

Setelah sholat Isya, hujan tak menunjukkan tanda-tanda reda. Dengan nekat, aku memutuskan untuk menerobos hujan tanpa mantel. Aku mendapati jalan menuju tempat tinggalku tergenang air. Alirannya deras, padahal daerah ini tergolong bebas banjir karena kontur tanahnya yang lebih tinggi. Alhamdulillah, lingkungan sekitar rumah aman.

Menjelang jam 20.15 WITA, video-video banjir bandang yang melanda kota mulai beredar di grup WhatsApp. Banjir ini terutama terjadi di sepanjang jalan poros antar provinsi yang berjarak 1 kilometer dari rumah. Penyebabnya bukan karena luapan sungai, melainkan hujan deras yang tak tertampung oleh infrastruktur drainase yang tidak memadai.

Kota kecilku memang sedang berbenah. Perumahan baru bermunculan bahkan di area perbukitan bagaikan jamur, memenuhi kebutuhan rumah bagi masyarakat. Perluasan area perkebunan dengan menebang pohon-pohon penyeimbang alam turut melemahkan tanah dan mengurangi daya serap air hujan. Selain itu, infrastruktur drainase kurang memadai dan pembangunan trotoar mempersempit selokan dan sungai, sehingga aliran air kurang lancar.

Banjir bandang ini menjadi pengingat keras bagi kita semua. Apakah ini hanya peristiwa alam biasa, atau teguran atas kelalaian kita dalam menjaga kelestarian alam?

Empati, Bukan Stigma: Menyatukan Kita dalam Menghadapi Bencana

Musibah banjir bandang bagi yang terdampak bagaikan pil pahit walaupun tidak merenggut jiwa namun kerugian kerusakan harta benda tidaklah sedikit. Di tengah duka dan kepanikan, muncul pula bisikan-bisikan, ucapan-ucapan yang menyatakan bahwa bencana terjadi akibat dosa dan kesalahan masyarakat di daerah terdampak. Pandangan ini, meskipun terkadang dilandasi niat baik, dapat memicu stigmatisasi dan melukai perasaan para korban. Oleh karena itu, penting untuk memahami bencana alam dari sudut pandang psikologi dan agama dengan penuh empati dan pemahaman.

Secara psikologis, individu yang mengalami dampak banjir bandang bisa saja mengalami trauma kalau mengingat kejadian apalagi saat hujan deras kembali mengguyur muncul pemikiran ketidakpastian sehingga memicu gangguan kecemasan. Stigmatisasi dan tudingan bahwa mereka ditimpa bencana karena dosa hanya akan memperparah kondisi psikologis mereka. Rasa bersalah dan malu yang tidak berdasar dapat menghambat proses pemulihan dan memperlambat adaptasi terhadap situasi baru.

Dari sudut pandang agama, bencana alam banjir bandang adalah kehendak Sang Pencipta. Namun, penting untuk diingat bahwa Allah Maha Penyayang dan tidak akan menimpakan musibah tanpa alasan. Bencana alam bisa menjadi pengingat bagi manusia untuk selalu bersyukur atas nikmat kehidupan dan meningkatkan keimanan. Bencana juga dapat menjadi sarana untuk menumbuhkan rasa solidaritas dan kepedulian antar sesama. Saling membantu dan meringankan beban para korban merupakan wujud nyata dari kasih sayang dan keimanan. Beberapa Ayat Al-Qur’an dan Hadis yang berkaitan dengan bencana alam

  • Surat Al-Baqarah ayat 155: “Dan sungguh, Kami akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Kabarkanlah berita gembira kepada orang-orang yang bersabar.”
  • Hadis Riwayat Bukhari: “Tidaklah Allah menurunkan musibah melainkan karena hikmah dan untuk membersihkan dosa hamba-Nya.”
  • Surat At-Tagabun ayat 11: “Dan apa pun musibah yang menimpa kalian adalah karena perbuatan tangan-tangan kalian sendiri, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Menumbuhkan Empati dan Saling Menguatkan

Alih-alih menjustifikasi bencana dengan menyalahkan pihak lain, kita perlu mengalihkan fokus pada upaya pemulihan dan penguatan. Apa yang bisa kita lakukan? Menghindari stigmatisasi dengan tidak melontarkan ucapan atau pemikiran yang menyalahkan korban. Setiap orang berhak mendapatkan empati dan dukungan, tanpa terkecuali. Memberikan dukungan sesuai kemampuan dan kesempatan diantaranya sekedar mendengarkan keluh kesah dan memberikan rasa nyaman bagi para korban atau kalau bisa membantu secara fisik/materiil sangatlah penting untuk meringankan mereka melewati masa-masa sulit. Berpartisipasi dalam program-program pemulihan pasca bencana, baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun organisasi non-pemerintah juga menjadi solusi tetapi yang terpenting adalah membangun kesadaran kolektif akan pentingnya menjaga kelestarian alam dan membangun infrastruktur yang ramah lingkungan untuk mencegah terjadinya bencana di masa depan.

Banjir bandang yang melanda kota kecilku merupakan musibah yang tidak diinginkan semua orang. Namun, musibah ini juga menjadi pengingat bagi kita semua untuk lebih peduli terhadap lingkungan dan membangun masyarakat yang lebih tangguh.

Talaga, 29 April 2024

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *