Dulu, 20-an tahun lalu setiap bulan dibagikan ihsan, sebuah istilah yang dipakai untuk gaji. Menggunakan amplop putih berisi lipatan uang kertas dan seringkali bercampur uang logam dibagikan langsung Sang Kyai. Yang tinggal diluar pondok diutus seorang guru mengantarkan dari pintu ke pintu sambil silaturahmi. Amplop penuh berkah dari Sang Kyai yang malam sebelumnya beliau bungkus bersama do’a yang menyertai. Masing-masing tidak tahu berapa yang diterima kecuali sesudah membuka amplopnya karena nominal ihsan otoritas Kyai. Ala kadarnya dan semua tidak berharap lebih sehingga bekerjapun menjadi media perjuangan dengan keikhlasan diri. Mengkondisikan pemasukan karena para santri membayar sumbangan bulanan masih menggunakan beras dengan jumlah dan kualitas bervariasi.
Waktu berlalu, ikhtiar pengembangan sebuah lembaga yang lebih maju terjadi. Manajemenpun direvisi untuk mengoptimalkan fungsi. Ihsanpun disesuaikan agar lebih manusiawi dan santri membayar bulanan tidak menggunakan beras tetapi melainkan uang tunai. Sedikit gejolak karena perubahan sistem memerlukan adaptasi. Berproses dan bergerak, pengelolapun berusaha keuangan kelembagaan menjadi lebih mandiri dengan mengembangkan usaha kantin dan jasa fotokopi. Sarpras, fasilitas dan sumber dayapun diperbaiki di semua lini. Globalisasi mulai menjamah, era baru komunikasi terus merambah. Perlahan tapi pasti, ihsanpun bertambah sedikit demi sedikit tapi pasti dan pengiriman via bankpun dipakai dalam transaksi.
Tibalah sekarang jamannya era digital disrupsi, sebuah era terjadinya inovasi dan perubahan besar-besaran yang secara fundamental mengubah sistem, tatanan, dan landscape yang ada ke cara-cara yang diperbarui. Penuh peluang sekaligus tantangan dimana kualitas mental dan spiritual diuji. Ukuran kesuksesan berubah, kompetisi sangat tinggi, saling mengkomparasi seringkali terkesan keji, tidak sedikit berujung saling membuli, rasis dan rasa antipati. Kasus anggota DPR dengan bahasa Sunda dan mengkritisi kebijakan yang menyinngung suku Dayak adalah semangat tanpa kontrol diri sehingga memantik reaksi. Bisa jadi mindset yang terpatri di pikiran dan sanubari sudah tercemari hiruk pikuk duniawi. Demikian juga ihsanpun menjadi bahasan seru karena tuntutan diri dan seakan tidak pernah selesai. Cara bertransaksi ihsanpun kini beralih ke non tunai dan menjadi fakta siapa yang tidak menerapkan tertinggal atau tidak mampu berkompetisi.
Ihsan yang dipakai sebagai pengganti kata gaji sebenarnya sangat dalam filosofi. Sebuah inspirasi agar dalam bekerja total sepenuh hati karena Illahi. Tetapi sebagai insan, kitapun bisa memilih dimana menempatkan diri. Raras Huraerah menuliskan di buku RIPAIL (Rangkuman Ilmu Pengetahuan Agama Islam Lengkap) tingkatan ihsan dibagi menjadi tiga, yaitu pertama tingkatan musyahadah yang terdiri dari golongan orang yang melakukan ibadah seakan-akan selalu merasa, melihat, dan menyaksikan Allah SWT secara langsung. Mereka merasa Allah benar-benar hadir dalam setiap ibadah yang mereka lakukan. Kedua adalah tingkatan muraqabah dimana orang yang melakukan ibadah merasa seluruh gerak-geriknya dan getar hatinya diawasi oleh Allah SWT serta ketiga tingkatan Ihsan paling rendah yaitu golongan orang yang beribadah bagaikan seorang pedagang, apa yang dilakukan dalam ibadahnya bertujuan untuk mencari keuntungan.
Ya, sebagai konklusi..Ihsan dipakai sebagai pengganti kata gaji agar kita bekerja dengan sepenuh hati apapun posisi dan kedudukan kita saat ini. Duduk dan diskusi manis bisa menjadi solusi dan jauh dari kata-kata intimidasi. #Talaga, 01Feb2022