Belia dan sederhana pertama melihatmu. Tunas pendek dengan tiga helai daun kecil dan kaki akar dibaluti tanah basah terbungkus. Tampak kurang menarik dan kalau bukan karena rasa iba ke penjualnya mungkin dirimu tidak kubeli. Tetapi aneh juga kulihat karena dirimu hanyalah satu-satunya yang penjual bawa dan tawarkan. Barangkali yang lain sudah laku dibeli orang di tempat persinggahan sebelumnya.
Aku gali tanah di sudut pekarangan sempit dekat sumur dan kutanam dengan pengharapan. Tiap pagi petang kusiram, hari demi hari berlalu menanti dan kurasakan begitu lambat tumbuhmu. Kuragukan apakah kamu mampu bertahan di tanah timbunan dari bukit yang berbatu. Dua tahun berlalu mulailah kulihat sosokmu. Beberapa tunas tumbuh menjadi pohon bambu yang langsing dan berbuku-buku. Tidak berduri, hijau kekuningan dengan daun kecil yang mengayun manja saat angin meniupmu. Baru kutahu rahasiamu, lambat tumbuh batangmu karena sedang menyiapkan pondasi akar rimpang yang kuat di sela-sela tanah dan batu.
Bersusulan tunas-tunas tumbuh dan saling berlomba menjadi pohon yang menjulang. Agar tercipta harmoni batang-batang yang tumbuh memanjang tidak boleh memilih arahnya sendiri karena sempitnya ruang. Satu persatu kuatur, kupilin untuk menghemat ruang dan agar saling menyatu. Aku percaya kalaupun kubebaskan tumbuh kamu kuat dari hempasan angin. Saat batang, ranting dan daunmu lebat maka kurapikan dengan memangkas dan mengguntingmu. Aku mengenalimu dan karenamu lingkunganku jadi indah. Jadi ingat kata bijak Buya Hamka “ Kenal akan keindahan dan sanggup menyatakan keindahan itu kepada orang lain adalah bahagia”