Hari ini, 17 Agustus 2022 bangsa Indonesia memperingati HUT Kemerdekaan RI Ke-77. Sebuah ukuran waktu yang cukup tua bila dianalogikan sebagai insan manusia. Dalam rentang 77 tahun setelah merdeka apakah esensi kemerdekaan dalam berbagai aspek kehidupan sudah dirasakan? Jawaban tentu akan sangat variatif kembali ke mindset personal dalam mendefiniskan kemerdekaan dan ukuran pembanding apa sehingga aspek kehidupan sudah tergolong pada tingkatan merdeka. Jika merdeka yang dimaksudkan adalah terbebas dari penjajahan atau agresi militer maka kita sudah merdeka.
Kemerdekaan yang hakiki adalah saat kita mengimplementasikan fitrah manusia dalam berbagai aspek kehidupan sebagaimana fakta penciptaan manusia. Dalam Tauhid Islam, manusia diciptakan untuk beribadah hanya kepada Sang Pencipta [QS Adz Dzariyat ayat 56] maka bila masih menuhankan selain Allah maka manusia belum merdeka karena masih bergantung ke sesuatu yang sama-sama ciptaan Allah. Demikian juga manusia mengemban amanah sebagai khalifah di muka bumi [QS Al Baqarah ayat 30] maka bila peran yang dilakukan menimbulkan kerusakan dan ketidakstabilan maka manusia tersebut belum merdeka.
Naluri manusia tertarik ke lawan jenis dari fakta penciptaan berpasang-pasangan [QS Yasin ayat 36] adalah fitrah, maka manusia normal yang menjalin ikatan suami-istri sah dapat dikatakan merdeka karena mereka sudah halal bercampur. Manusia yang jujur berarti merdeka, karena bila berbohong ada sesuatu yang disembunyikan sehingga menutupinya, kecuali berbohong sesuai tuntunan saat terancam atau akan dizalimi orang lain. Manusia memakan rezeki halal dan baik [QS Al Baqarah ayat 168] adalah merdeka karena sesuatu yang haram berakibat buruk pada jasmani rohani yang melakukan bahkan tidak diterima ibadahnya selama 40 hari. Sehingga apapun yang dilakukan manusia di segala sisi kehidupan bisa dikatakan merdeka bila sudah sesuai ajaran dan tuntunan agama Islam.
Merdeka belajar dalam Islam tergambar bahwa manusia dikarunia fitrah berupa naluri ingin mengetahui nama-nama segala sesuatu yang ada di alam semesta ini [QS Al Baqarah ayat 31] yang artinya “Dan Dia ajarkan kepada Adam semua nama-nama (benda) …”. Hal ini menunjukkan proses dalam hidup manusia yang diawali dengan rasa ingin tahu (curiosity) yang kuat sejak lahirnnya dan dalam perjalanannya diperintahkan untuk membaca [QS Al Alaq ayat 1-5]. Iqra’ (kata perintah) berarti bacalah! mengandung pengertian membaca, mempelajari, menela’ah, meneliti dan mengumpulkan. Tema utama surah ini adalah perlunya membaca apa yang tertulis dan apa yang terhampar di alam raya ini, dan bahwa Allah Swt adalah sumber ilmu yang menganugerahkan kepada manusia secara langsung maupun tidak langsung.
Nabi Ibrahim as berangkat dari rasa keingintahuan, mencari dan menemukan Tuhan yang Maha Esa sebagaimana kisah dalam surat al-An’am menarik diambil sebagai pelajaran. Mula-mula Ibrahim mengkritisi Azar sang ayah. “Pantaskah kamu menjadikan berhala-berhala sebagai tuhan-tuhan? Sesungguhnya aku melihat kamu dan kaummu dalam kesesatan yang nyata.” [QS. Al-An’am Ayat 74]. Dalam konteks ini, Allah memperlihatkan Ibrahim as tanda-tanda kebesaran dan keagungan-Nya di langit dan di bumi.
Ibrahim kemudian melakukan dialog kosmologis-teologis. “Ketika malam telah menjadi gelap, dia melihat sebuah bintang, (lalu) dia berkata: Inilah Tuhanku.” Tetapi, tatkala bintang itu tenggelam, dia berkata: “Saya tidak suka kepada yang tenggelam” [QS al- An’am Ayat 76]. Dialog tersebut menumbuhkan kesadaran teologis pada diri Ibrahim bahwa Tuhan tidak semestinya “muncul lalu menghilang”.
Tidak puas dengan tuhan berupa bintang, Ibrahim melanjutkan dialog kosmologisnya, dengan mengamati dan mencermati bulan. “Kemudian tatkala dia melihat bulan terbit, dia berkata: “Inilah Tuhanku”. Tetapi setelah bulan itu terbenam, dia berkata: “Sesungguhnya, jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, niscaya aku termasuk orang-orang yang sesat.” [QS. al-An’am Ayat 77]. Hasil observasi Ibrahim terhadap bulan membawanya kepada kesimpulan sementara bahwa fenomena bulan sama saja dengan bintang: muncul dan tenggelam. Bulan tidak layak dituhankan. Artinya, ada Tuhan sejati yang menciptakan dan mengatur peredaran bulan. Dalam hal ini, Ibrahim mulai merasakan pentingnya “pertolongan dan petunjuk” dari Tuhan sejati agar tidak menjadi orang-orang yang sesat dan menyesatkan.
Ibrahim melanjutkan observasinya dengan asumsi dasar bahwa Tuhan itu bukan fenomena alam yang muncul dan sirna dari pandangan mata. Pada keesokan harinya, “Ketika dia melihat matahari terbit, dia berkata: “Inilah Tuhanku, ini yang lebih besar”. Namun, tatkata matahari mulai terbenam, dia berkata: “Hai kaumku , sesungguhnya aku berlepas diri (merdeka) dari apa yang kamu persekutukan.” [QS al-An’am Ayat 78]. Pencarian dan pembuktian bahwa Allah itu Maha Esa, tiada tuhan selain Dia mengandung makna kemerdekaan. Karena itu, siapapun yang masih terikat dan tergantung pada tuhan selain Allah itu pasti tidak merdeka.
Fakta sejarah membuktikan bahwa para ulama di masa lampau telah mengamalkan konsep merdeka belajar, sehingga mereka cenderung banyak menguasai bidang keilmuan, tidak monodisiplin. Contohnya al-Farabi, Ibn Sina, Ibn Rusyd, al-Ghazali, al-Khawarizmi, Ibn al-Haitsam, Ibn Miskawaih, dan sebagainya. Ibn Sina misalnya, tidak hanya pakar di bidang kedokteran, tetapi juga menguasai fikih, filsafat, matematika, logika, bahasa, musik, dan sebagainya. Bahkan di usia yang masih cukup belia (8 tahun), dia sudah hafal Alquran.
Dunia pendidikan kita saat ini melangkah untuk mengimplementasikan merdeka belajar. Apakah konsep merdeka belajar dapat diimplementasikan di era digital dan disrupsi seperti saat ini? Kenapa tidak, merdeka belajar adalah spirit, sikap pembelajar dan memberi kesempatan dalam mengelola terutama pemangku kepentingan dunia pendidikan. Konsep merdeka belajar dalam persepektif Islam ini penting dikembangkan karena memang Islam tidak membatasi dan mengekang umatnya dalam mempelajari segala hal, selama bi ismi Rabbik. Dalam ayat lain, Allah bahkan menantang manusia dan jin untuk menembus (melintasi) penjuru langit dan bumi jika mampu melakukannya. Allah kemudian menegaskan bahwa kamu tidak dapat menembusnya, melainkan dengan kekuatan (sulthan). [QS ar-Rahman ayat 33].
Namun demikian, karena implementasi merdeka belajar itu bersifat opsional (pilihan), bukan paksaan tetapi konteks perubahan internal (sikap mental, pemikiran, dan moral) menuju proses pendidikan dan pembelajaran yang bermakna dan menyenangkan, efektif, konstruktif, dan produktif dapat memberi peluang dan keunggulan kompetetif sehingga peserta didik memiliki banyak alternatif kompetensi dan keterampilan yang relevan dikembangkan di era digital dan perubahan yang sangat cepat.
Pengalaman mengajarkan bahwa sudah banyak produk dan profesi yang punah ditelan kemajuan zaman, sementara itu banyak profesi baru berbasis teknologi informasi dan komunikasi bermunculan. Pada saat yang sama, persaingan usaha dan profesi semakin ketat dan sengit. Dengan demikian, merdeka belajar itu harus dipahami secara utuh, menyeluruh, dan strategis, untuk kemudian diamalkan secara konkret, berbasis analisis kebutuhan peserta didik di masa depan, dan berbasis kolaborasi mata pelajaran atas dasar memberi dan menerima (take and give) dan kerja sama dalam rangka mengembangkan budaya kebajikan dan takwa.
Talaga, 17 Agustus 2022