“Pada hari Selasa, 18 Juni 2024, bertepatan dengan hari kedua Lebaran Idul Adha 1445 H, pukul 07.58 WITA, kami memulai perjalanan dari Talaga Juppandang, Enrekang menuju Bantaeng. Jarak tempuh yang cukup jauh, yakni 325 kilometer, tidak menyurutkan semangat kami untuk bersilaturahmi ke adik ipar perempuan yang telah setahun berdomisili di sana bersama suami, seorang polisi yang baru saja dimutasi dari Buol, Sulawesi Utara. Rombongan kami berjumlah tujuh orang, dengan susunan tempat duduk: saya sebagai pengemudi, istri di samping saya, ibu mertua, dua kakak ipar perempuan, dan seorang adik ipar laki-laki duduk di baris belakang. Perjalanan ini terasa istimewa karena merupakan pengalaman pertama kami menyusuri jalanan Jeneponto dan Bantaeng. Sebelumnya, kami baru pernah sampai di Takalar, mengunjungi Pantai Galesong yang terkenal itu, namun sudah puluhan tahun lalu.”

“Sejuknya udara pagi menyambut kami saat meninggalkan Enrekang. Jalan berliku yang menanjak dan menurun, dihiasi pepohonan rindang dan diiringi aliran Sungai Saddang, sungai terpanjang di Sulawesi Selatan, kami lalui selama 1 jam 11 menit. Akhirnya, kami tiba di Masjid Raya Pinrang yang megah, terletak di Jalan Sultan Hasanuddin Watang Sawitto. Setelah singgah sebentar, kami melanjutkan perjalanan menuju Pare-Pare. Namun, tak jauh dari sana, tepatnya empat menit perjalanan, kami memutuskan untuk mampir ke Alfamidi yang bersebelahan dengan Bank BRI Unit Sawitto. Sebagai pengemudi, saya membeli sebungkus melon yang telah dipotong-potong untuk dijadikan camilan. Harapannya, buah segar ini dapat menjadi penyemangat dan mencegah saya mengantuk selama perjalanan.”

“Perjalanan kami terus berlanjut, memasuki Kota Parepare yang padat penduduk dan memiliki banyak persimpangan jalan yang berdekatan. Kota ini cukup membingungkan bagi pengendara baru, sehingga sangat disarankan untuk menggunakan panduan navigasi seperti Google Maps. Kecuali jika tujuan Anda adalah Makassar melalui Sidrap, maka jalur utama yang melewati Kantor DPRD dan pertigaan dekat jembatan setelah Parepare akan menjadi pilihan yang lebih mudah. Parepare, kota kelahiran Presiden ketiga Indonesia, B.J. Habibie, terletak di pesisir barat Sulawesi Selatan. Letaknya yang strategis di tepi pantai menjadikan kota ini memiliki potensi besar dalam bidang maritim dan perdagangan. Selain itu, Parepare juga menawarkan beragam destinasi wisata menarik, mulai dari pantai yang indah, pulau-pulau eksotis, hingga situs sejarah yang sarat akan nilai budaya.”

“Pukul 11.19 WITA, setelah menempuh perjalanan selama 90 menit, kami akhirnya sampai di Alun-Alun Kota Barru. Mobil saya saya parkir di bawah rindang pohon trembesi yang meneduhkan di sisi selatan alun-alun. Saya pun segera turun dan meregangkan otot-otot kaki yang terasa pegal setelah seharian mengemudi. Sambil menikmati semilir angin sejuk dan meneguk minuman dingin, saya membuka kap mesin mobil untuk membiarkan mesinnya mendingin. Setelah merasa cukup beristirahat, tepat pukul 11.23 WITA, kami melanjutkan perjalanan menuju Pangkep. Kabupaten Barru, dengan garis pantai yang membentang luas dan jalan darat yang terpanjang di Sulawesi Selatan, memang memiliki keindahan alam yang menarik.”

“Sudah berkali-kali kami singgahi, Masjid Hj. Bau Yulianti di Bonto Perak, Pangkep kembali menjadi tujuan persinggahan kami. Pada pukul 12.19 WITA, saat azan zuhur berkumandang, kami tiba di masjid yang berjarak 51 km dari Alun-Alun Barru. Setelah melaksanakan sholat berjamaah di masjid dengan arsitektur modern klasik yang indah, kami memutuskan untuk beristirahat sejenak sambil menikmati bekal makan siang yang telah kami bawa. Sekitar satu jam kemudian, tepatnya pukul 13.20 WITA, kami melanjutkan perjalanan menuju Maros. Mengemudi setelah makan siang memang cukup menantang, apalagi jika perut terlalu kenyang. Untuk mengantisipasi rasa kantuk, saya sengaja tidak makan terlalu banyak dan membawa buah melon sebagai camilan. Rasa manis dan segarnya serta gerakan mengunyah saat makan melon dapat membantu menjaga saya tetap fokus. Karena persediaan melon mulai habis, kami memutuskan untuk mampir ke Alfamidi Maros Baru di Baju Bodoa untuk membeli tambahan.”

“Perjalanan menuju Bantaeng kami lanjutkan dengan semangat, ditemani oleh camilan yang telah dipersiapkan. Mengingat waktu sudah menunjukkan pukul 13.54, kami merencanakan untuk beristirahat nantinya di Takalar saat waktu sholat Ashar tiba. Sesampainya di Bundaran Mandai yang menjadi ikon kota Makassar, kami segera memasuki jalan tol Insinyur Sutami. Bundaran Mandai merupakan salah satu pusat transportasi utama di Makassar. Bundaran ini menjadi titik pertemuan berbagai jalan utama, termasuk akses menuju Bandara Internasional Sultan Hasanuddin. Sedangkan jalan tol Insinyur Sutami sendiri merupakan salah satu infrastruktur penting di Makassar yang sangat membantu dalam mengurangi kemacetan dan memperlancar mobilitas masyarakat. Setelah melintasi Jembatan Tallo yang megah dan Jalan Layang AP Pettarani, kami keluar tol di dekat Universitas Negeri Makassar. Dari sini, kami melanjutkan perjalanan dengan menyusuri Jalan Alauddin menuju Gowa.”

Menyusuri Jalan Alauddin, Jalan Syech Yusuf, dan Jalan Sultan Hasanuddin, kemudian menyeberangi Jembatan di atas Sungai Jeneberang hingga Sungguminasa, kita diingatkan akan sejarah kejayaan Kerajaan Gowa dengan Makassar sebagai ibukotanya. Kerajaan ini merupakan salah satu kerajaan maritim terbesar dan paling berpengaruh di Nusantara pada masanya.

Sultan Alauddin, seorang Pahlawan Nasional, adalah salah satu sultan paling berpengaruh dalam sejarah Kerajaan Gowa-Tallo. Beliau dikenal sebagai sosok yang visioner, cerdas, dan berhasil membawa Kerajaan Gowa mencapai puncak kejayaannya. Di masa pemerintahannya, Alauddin sangat memperhatikan perkembangan pendidikan dan kebudayaan. Beliau membangun berbagai infrastruktur seperti masjid, sekolah, dan perpustakaan. Mungkin karena perhatiannya yang serius terhadap pendidikan dan kebudayaan, namanya diabadikan pada Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar.

Demikian pula, Syekh Yusuf yang lahir di Gowa pada tahun 1626 adalah salah satu tokoh besar dalam sejarah Islam di Nusantara. Beliau dikenal sebagai ulama, pemimpin agama, dan pejuang yang gigih melawan kolonialisme Belanda pada abad ke-17. Karena perjuangannya yang gigih, Syekh Yusuf kemudian diasingkan oleh Belanda ke Cape Town, Afrika Selatan.

Pukul 15.44 WITA, kami tiba di Pattallassang, Takalar. Mobil kemudian berbelok perlahan untuk parkir di halaman Masjid Agung Takalar yang megah, terletak di Jalan Poros Takalar-Jeneponto. Kami beristirahat sejenak dan menunaikan kebutuhan pribadi karena sudah menjamakkan sholat sebelumnya di Masjid Hj. Bau Yulianti, Pangkep. Setelah sekitar 14 menit, kami melanjutkan perjalanan menuju Jeneponto. Perjalanan menuju Bantaeng masih sekitar 80 km, jadi jika nanti singgah di salah satu masjid untuk sholat Magrib, kami belum sempat mengeksplorasi Takalar dan Jeneponto lebih jauh, padahal kedua daerah ini belum pernah kami kunjungi. Sepanjang perjalanan, hamparan sawah ladang terbentang di kanan kiri Jalan Poros Takalar-Jeneponto. Pertanian, perikanan, dan perdagangan merupakan sektor unggulan ekonomi Takalar. Dengan garis pantai yang panjang, potensi pariwisata di Takalar sangat besar, menawarkan keindahan pantai yang memukau.

Melewati Jeneponto, kami untuk pertama kalinya melihat hamparan ladang garam berwarna putih di sepanjang pantai. Tumpukan karung yang tersusun rapi kemungkinan berisi garam hasil olahan siap jual. Jeneponto, dengan iklimnya yang panas dan kering, memiliki tradisi pembuatan garam turun-temurun. Masyarakatnya memiliki keahlian dan pengetahuan mendalam tentang proses pembuatan garam yang umumnya masih menggunakan cara tradisional. Air laut dipompa ke dalam tambak-tambak garam, kemudian diuapkan dengan bantuan sinar matahari. Setelah air menguap, terbentuklah kristal-kristal garam yang siap dipanen.

Perjalanan di poros Takalar-Jeneponto memakan waktu sekitar 2 jam, padahal jaraknya hanya 62 km. Kemungkinan karena momen Lebaran Idul Adha, jalanan sangat padat, baik kendaraan menuju ke arah sana maupun arus balik wisatawan domestik dari Bantaeng. Akhirnya, kami tiba di Masjid Togo-Togo, Kecamatan Batang Jeneponto saat waktu Magrib. Setelah berwudhu, kami pun menunaikan sholat.

Sekitar pukul 18.27 WITA, kami melanjutkan perjalanan menuju tahap akhir karena jarak yang tersisa hanya 19 km lagi. Hari mulai gelap, sehingga kami menyalakan lampu mobil. Jalanan masih berkelok-kelok dan naik turun, meski tidak terlalu tajam, tetap perlu kehati-hatian karena ini adalah jalur yang pertama kali kami lalui. Kami terus berkomunikasi dengan keluarga di Bantaeng melalui aplikasi berbagi lokasi. Berdasarkan lokasi yang dibagikan, kami akan bertemu di dekat Apotik Sejahtera di Jalan Manggis, sedangkan rumah mereka berada di Jalan Mangga. Setelah sekitar setengah jam, kami akhirnya tiba di Bantaeng dan bertemu dengan keluarga.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *