Catatan Perjalanan 6 Tahun Belajar Di Pesantren
Pondok Pesantren Modern Darul Falah Enrekang atau biasa masyarakat umum menyebut Darul Falah tidak asing bagiku. Aku terlahir 18 tahun lalu sampai kelas 5 SD tinggal di perumahan guru di dalam pondok berhubung Bapak adalah salah satu guru pesantren. Ibu dan ketiga adiknya serta kedua kakakku adalah alumni Darul Falah. Saat kelas 6 SD tidak tinggal di pondok tetapi di rumah Bapak yang terletak 1 kilometer dari Darul Falah dan setelah lulus aku kembali masuk dan tinggal di Pondok Pesantren dengan status santri SMP.

Hari pertama tinggal di asrama pondok tidak ada santri baru yang kukenal kecuali seorang santri pernah satu sekolah sewaktu SD dan itupun aku kurang akrab dengannya karena berbeda kelas. Perbedaan yang kurasakan adalah segala sesuatunya harus aku urus sendiri seperti mencuci, mengatur baju dan barang keperluan sehari-hari termasuk harus mengantri saat mengambil makanan di dapur. Makanan di pondok semua terasa enak walaupun sederhana dan harus sabar mengikuti kegiatan pondok yang sangat padat dari subuh sampai malam.
Asramaku lebih dikenal dengan sebutan asrama C1 padahal memiliki nama Ali Bin Abi Thalib. Penghuni asrama beragam asal kampungnya, sehingga suasananya lebih asyik dan tidak membosankan apalagi setelah mengenal satu sama lainnya. Bisa dikatakan menurut saya asrama C1 adalah asrama terbaik saya dulu karena padat dengan kegiatan yang terkontrol dengan baik.
“Wake Up! Wake Up!” teriak kakak-kakak pengurus membangunkan untuk persiapan sholat subuh jam 04.30 pagi. Seringkali asrama kami bangun lebih cepat untuk diberikan mufrodat, kosa kata bahasa asing atau menghafal zikir dan ayat-ayat Al-Qur’an. Kami seasrama menghafal dengan melafazkannya bersama-sama sehingga kadang membangunkan santri asrama lain yang masih tidur.
Kegiatan dilanjutkan dengan sholat subuh, zikir pagi, dan menghafal surah-surah yang telah ditentukan. Jam 07.00 pagi kami sudah bersiap belajar di sekolah untuk menerima pelajaran umum dan pelajaran agama. Sekitar jam 12.00 siang istirahat, sholat dan makan siang kemudian kamipun kembali belajar di kelas sampai menjelang sholat ashar.
Lelah setelah usai belajar di kelas akupun bisa sejank baring-baring istirahat di asrama kemudian kembali bersiap-siap menuju masjid untuk sholat ashar dan menghafal Al-Qur’an. Di sore harilah aku mempunyai waktu bebas sepulang sholat ashar. Itulah waktu bebas kami sebagai santri untuk melakukan berbagai hal yang disukai.
Aku memanfaatkan waktu bebas untuk mencuci, ke kantin atau duduk-duduk ngobrol santai sambil melihat kebanyakan santri yang berolahraga di lapangan bermain futsal, takraw atau volley. Sekitar jam 17.00 sore akupun mengantri untuk mandi, mempersiapkan buku tulis, kitab, dan Al-Qur’an kemudian pergi ke Masjid menunaikan sholat magrib.
Selesai sholat Maghrib, semua santri harus mengikuti pengajian kitab yang dibawakan oleh para ustadz yang bergantian tiap harinya. Ada pengajian Riyadusshahilin, Bulughul Ma’ram, dan kitan hadits lainnya. Pengajian selesai saat berkumandang adzan masuk Isya dan setelah sholat Isya kami bergegas untuk makan malam. Antrian akan mengular saat menu atau lauk makanan terfavorit kami terjadwal ayam goreng. Tidak santri yang mau tinggal berdiam di asrama, semua mau mendapatkan yang pertama pembagian lauk ayamnya. Manakala menu atau lauknya selain ayam maka antrian tidak memanjang dan tidak berebutan yang terdepan.
Setelah belajar mandiri malam sekita jam 09.30 kami terkhusus asrama C1 harus menghafal beberapa kosakata sebelum diizinkan masuk asrama untuk bersiap-siap tidur malam. Tidur untuk memberi kesempatan jasmani ini untuk istirahat agar pulih kembali dan saat bangun sebelum subuh sudah segar kembali untuk memulai aktivitas di hari yang baru lagi.
Hukuman adalah konsekuensi dari pelanggaran
Hukuman terkadang dianggap sebagai suatu beban daripada menerima sesuatu sebagai konsekuensi atas pelanggaran atau mempertanggungjawabkan. Di Pesantren ketika kami melanggar kadangkala kami disuruh berlari keliling teras sekolah dan kami menyebutnya “road race”. Kalau melakukan pelanggaran tingkat sedang, kami di “letta” sebuah istilah untuk cukur tetapi asal-asalan atau dibotak.
Hukuman yang paling terkesan adalah ketika kami dihukum bersama karena ribut di masjid. Biasanya kami dihukum dengan hukuman “nganyam” sambil diberi nasehat agar tidak ribut di masjid lagi. Walaupun kita tidak ribut karena ada yang ribut di masjid tetap semua santri dihukum berjamaah. Mungkin karena segan sama kakak pengurus, tidak ada yang berani angkat tangan dan mengatakan,”Saya tidak ribut, kak!” dan mungkin juga karena solidaritas yang tinggi juga, sehingga kami tetap menjalani saja sebagaimana mestinya.
Pengurus OSDF
“Apakah kalian siap menjadi pengurus OSDF periode 2021-2022?” .
“Insyaallah, Siap!” jawab kami semua serentak.
Mungkin begitulah suasana pelantikan ketika kami baru jadi pengurus OSDF. Sebenarnya aku tidak siap menjadi sekretaris di Organisasi Santri Darul Falah atau disingkat OSDF karena aku tidak terampil memakai aplikasi MS Word, Excel, Powerpoint atau cara membuat surat, “time schedule” dan yang lainnya. Akupun tidak sempat belajar dari sekretaris sebelumnya karena kelas 12 keburu tamat sebelum aku belajar tentang kesekretariatan.
Beruntungnya aku bersama sekretaris 2 sefrekuensi sehingga kami sama-sama belajar dari internet. Tidak semua pekerjaan di sekretaris dapat kami selesaikan dengan baik utamanya kerapian administrasi. Kadangkala kalau ada acara atau kegiatan kami harus begadang sampai pagi seperti pada saat akhir masa kepengurusan harus menyusun LPJ atau Laporan Pertanggungjawaban. Mulai membuat proposal, laporan koordinator, dan surat undangan.
Kesibukan dan kelelahan menjadi pengurus kami rasakan tetapi kami Insyaallah selalu ikhlas dalam mengerjakan semuanya. Semoga Allah memberikan ridha-NYA dan semua aktivitas pengurus OSDF di Pondok Pesantren Modern Darul Falah bernilai ibadah. Aamiin
Menghafal Qur’an adalah jalan Santriku
Sedari TPA dan SD aku sudah mulai menghafal surah-surah pendek yang ditugaskan Ustadzah atau Guru Pendidikan Agama Islam. Ketertarikan menghafal dimuali saat kelas 7 SMP ketika bertemu kembali dengan teman karib saat SD dan kami berbagi pengalaman. Dia bercerita sudah menghafal setengah dari Juz 1 padahal kami baru berpisah selama setengah tahun sedangkan dia belajar di SMP Negeri. Aku berpikir, kalau teman saya yang tidak mondok bisa menghafal secepat itu, kenapa saya tidak menghafal juga dengan lebih baik?
Mulai saat itu aku termotivasi untuk menghafal Al-Qur’an. Pada saat naik ke kelas 8 SMP aku mengetahui ada program baru di pondok yaitu program tahfiz regular dan akupun langsung mengikutinya untuk menghafal Al-Qur’an.


Bulan Mei 2018 menjelang bulan ramadhan 1439 H aku bersama kakak pertamaku diantar Bapak ke tempat dauroh menghafal Qur’an yang berada di Kuningan, Jawa Barat. Nama lembaganya adalah Yayasan Karantina Tahfiz Nasional atau biasa disingkat YKTN. Disana, aku mendapat banyak sekali pengalaman termasuk motivasi-motivasi dalam menghafal Al-Qur’an. Dan termasuk juga metode menghafal Al-Qur’an dengan lebih mudah, yakni disebut metode Yadain atau bisa juga disebut metode Tadabbur. Metode Tadabbur adalah metode menghafal Al-Qur’an dengan memahami maksud ayat yang dibaca sehingga lebih mudah menghafal alur-alur yang terdapat di dalam Al-Qur’an. Dari metode ini juga aku mendapat lebih banyak mendapat mufrodat-mufrodat Bahasa Arab.
Dari Utsman bin Affan Radhiyallahu Anhu, Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:
خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرآنَ وَ عَلَّمَهُ
“Sebaik-baik kalian adalah orang yang belajar Al-Qur’an dan mengajarkannya”
Ketika berada di kelas 10 SMA, aku merasa hafalanku sudah lumayan banyak, sehingga butuh waktu lebih banyak pula untuk menjaganya dengan muroja’ah sehingga aku memutuskan untuk masuk Tahfiz Khusus. Di Tahfiz Khusus, semua waktu dipenuhi dengan menghafal Al-Qur’an, kecuali memang waktu istirahat sehingga bisa lebih fokus dalam menghafal dan menjaga hafalan Al-Qur’an. Akhirnya pada saat kelas 2 SMA tepatnya pada tanggal 1 Mei 2021, Aku menyelesaikan setoran akhir hafalan Al-Qur’an 30 Juz bersama seorang temanku.
Perjuangan belum selesai karena perjuangan selanjutnya lebih sulit yang butuh ketetapan hati yang kuat dan konsisten, yakni perjuangan me- Mutqin kan dan me- Murojaah hafalan. Kalau berada di tempat dan lingkungan yang tepat InsyaAllah bisa tercapai. Keinginanku sama yang telah ditempuh kedua kakakku, setelah menyelesaikan setoran hafalan 30 juz di SMA kemudian mengambil kuliah di perguruan tinggi yang mendukung untuk tetap memperjuangkan hafalan Al Qur’an. Semoga Allah selalu memberikan ke-Istiqomahan dan ketetapan hati agar selalu menghafal dan memurojaah hafalan Al-Qur’an
Harapan saya untuk pondok kedepannya agar menjadi lebih baik, dan kepada semua santri yang masih sibuk menuntut ilmu, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam pernah bersabda, yang artinya,”Barangsiapa yang menempuh suatu jalan untuk menuntut ilmu, maka Allah akan memudahkan jalan baginya menuju ke surga”
Oleh : Abyan Muhammad Fikri, Kelas : XII SMAS DaFa Enrekang