“Tuit tuit tuit, tuit tuit tuit”, suara kicau burung selalu hadir mengiringi pagi hari. Bergegas aku beranjak dari kursi dan menengok ke belakang rumahku. Terlihat seekor burung asyik lompat kesana-kemari diantara ranting pohon mangga dan bambu. Lalu kutirukan kicau burung dengan siulan dari mulutku,” suit suit suit”, rupanya burung mengulang beberapak kali kicauannya tetapi tidak tahu kenapa kemudian terbang ke arah pohon kelor di sudut pekarangan tetangga. Barangkali siulanku yang berusaha meniru kicauannya ber amplitudo lebih besar sehingga terdengar lebih ngebass menakutkan. Yaah, sampai jumpa besok pagi lagi burung, akan kucoba siulan yang mirip dengan kicauanmu agar kita bisa bermain bersama pagi besok.

Sabtu pagi hari ini terasa segar udaranya dan jasmani ini sepertinya memberi sinyal untuk terus bergerak agar bisa menangkap lebih banyak oksigen. Teringat pernah saya baca artikel pakar kesehatan di detikhealth bahwa kualitas suatu hari seseorang akan terlihat dari saat dia bangun pagi. Kalau bangun terasa bugar tidak merasa mengantuk berpeluang aktivitas seharian nanti akan optimal.

Sungai Saddang

“Dik, ayo jalan-jalan pagi mumpung segar udaranya”, kataku ke Salma. ” Jalan-jalan kemana?, sahutnya. “Ke SWISS saja yang dekat-dekat. Nanti kita simpan kendaraan di dekat tikungan sebelah barat dan kita bisa jalan sampai jembatan di ujung timur lalu kembali lagi. Nanti saja mencucinya, setelah pulang jalan-jalan”, tambahku. Sabtu Ahad setelah pemberlakuan lima hari kerja menjadi hari libur bagi pegawai kantor, kecuali ada pengisian data yang mendesak darurat. SWISS yang dimaksud disini bukan nama salah satu negara di Eropa yang terkenal dengan Pegunungan Alpennya tetapi SWISS merupakan singkatan dari Sekitar Wilayah Sungai Saddang. Sungai Saddang merupakan sungai utama di Sulawesi Selatan dengan panjang sekitar 181,5 km yang melintasi Kabupaten Toraja Utara, Tana Toraja, Enrekang dan Pinrang kemudian bermuara di selat Makassar. Kawasan di tepi Sungai Saddang di sebelah selatan pasar Enrekang yang dibangun jalan yang diamai Jalan SWISS

Sekitar lima menit perjalanan kami sampai di tikungan sebelah barat dan kendaraan menepi untuk parkir. Beberapa pejalan kaki sudah ada yang kembali pulang tetapi masih ada juga yang baru memulai jalan-jala pagi hampir bersamaan dengan kami. Aliran sungai saddang yang di pinggir jalan termasuk agar deras karena berada di posisi luar arus sungai sehingga bisa tergerus tanahnya. Untungnya proyek pemerintah kabupaten dengan membuat konstruksi tanggul yang kuat gerusan dengan menyusun tumpuka batu-batu besar bahkan sebuah truk hanya mempu membawa satu batu untuk menggambarkan besarnya batu untuk tanggul. Lebar sungai saddang sekitar 100 meter dan pada musim penghujan seperti sekarang warna airnya kecoklatan membawa lumpur dari sungai kecil di tiap percabangan yang berasal dari gunung. Panjang jalan SWISS yang bersisian dengan Sungai Saddang membujur sepanjang 600 meter. Disepanjang kanan kiri jalan ditanami pohon ketapang kencana yang memiliki ranting menyebar ke samping dengan daun-daun kecil yang lebat bersusun sehingga mirip payung. Pohon-pohon kelapa di kebun-kebun sekitar jalan tinggi menjulang memamerkan buahnya yang lebat. Kami melewati deretan warung-warung kuliner dan cafe yang berjajar di seberang jalan menghadap ke sungai. Pengaturan yang pas karena di pinggir sungai hanya ada taman sehingga sambil minum atau makan di warung atau cafe padangan ke sungai dan pegunungan tidak terhalang.

Terdengar jelas gemericik suara air terbawa angin yang melawan arah aliran air sungai. Sambil bercerita kami meyusuri jalanan pedestrian di tepi jalan raya dan pandangan kami tertuju ke penjual gogos di pinggir jembatan dan kamipun menyeberang mendekat. “Assalamu’alaikum Ibu”. saya ucapkan salam menyapa penjual gogos.
“Wa’alaikumussalam. beli gogoski?”, Ibu penjual balik bertanya. Di Enrekang gogos termasuk makanan tradisional yang berbaha beras merah dimasak kemudian dibungkus daun pisang lalu dibakar. Biasanya dimakan bersama denga sambal tomat bercampur ikan teri. Istri saya kemudian meminta dibungkuskan sebanyak sepuluh bungkus gogos dan setelah berpamitan kami lanjutkan jalan-jalan ke arah jembatan. Kami bersitirahat di pertengahan jembatan yang kokoh yang panjangnya 120 meter dan memiliki lebar 8 meter. Jembatan tersebut membentang di atas sungai MataAllo yang bertemu dengan Sungai Saddang jarak 100 meter dari jembatan.

Sungai MataAllo

Enrekang yang berada di pegunungan bisa mengalami banjir saat kedua sungai ini permukaan air naik bersamaan. Bila volume air Sungai Saddang naik maka akan menghalangi aliran Sungai MataAllo sehingga air Sungai Mata Allo yang melintas di tengah kota Enrekang meluap dan banjir. Tetapi sekarang jarang terjadi karena sudah ada sudetan sungai baru yang membagi aliran Sungai Saddang. Selesai megambil beberapa foto kami berputar kembali jalan ke arah tempat kendaraan kami parkir.

Seekor kucing putih yang bersih terlihat duduk mendekam di bebatuan dipinggir sungai. “Pus pus ck ck ck”, Istri saya memanggil. ernyata si kucing datang dan kamipun singgah duduk istirahat sambil memberi makan kucing dengan gogos yang sebelumnya kami beli. Alhamdulillah kucing dengan lahab memaka cubitan-cubitan gogos dari tanga istri. View pegunungan di sebelah barat terlihat jelas karena matahari sudah mulai meninggi. Dibalik pegunungan itu terdapat desa Loka sudah wilayah Kabupaten Pinrang. Kami hampir sampai di dekat tikungan jalan bagian barat dan tiba-tiba melintas bapak pesepeda dengan iringan musik dangdut dari spiker yang terpasang di sepedanya. Iya, si Bapak uik memang dikenal sebagai pesepeda bermusik yang rutin keliling enrekang kota setiap pagi atau kadang sore. Akhirnya kamipun pulang untuk melanjutkan aktivitas lanjutan di rumah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *