Di era modern ini, banyak orang masih belum menyadari bahaya tersembunyi dari kekerasan verbal. Tak seperti kekerasan fisik yang meninggalkan bekas luka kasat mata, kekerasan verbal diremehkan, makian, hinaan, fitnah, ancaman, dan kritik berlebihan bagaikan pisau bermata dua yang menancapkan luka mendalam di jiwa korban kalau korban tidak memiliki kekuatan mental untuk melawannya.
“Kalau kamu macam-macam, saya pindahkan tugasmu…ada rekan saya di pusat!”
Kalimat ini, meskipun diucapkan dengan nada santai, dapat meninggalkan kesan mendalam bagi korban. Ancaman mutasi dan pamer koneksi menunjukkan sikap superioritas dan intimidasi, merenggut rasa aman dan harga diri seseorang.
“Kamu sudah punya rumah? Mobil? Kamukan orang berkompeten kenapa belum punya?
Kritikan pedas dan sarkastik seperti ini bukan hanya menyakitkan, tetapi juga merendahkan kemampuan dan pencapaian korban. Perasaan tidak berharga dan minder dapat menghantui mereka jika korban terbawa perasaannya.
“Mobil jangan dibawa ke sekolah, supaya tidak nampak ketimpangan sosial!. Kamu pendatang, saya tahu siapa kamu jadi hati-hati!”
Kalimat penuh prasangka dan penghakiman ini mencerminkan sikap diskriminatif dan arogan pelaku. Korban teralienasi dan dicap dengan label negatif, bisa memicu rasa terasing dan kehilangan identitas diri bila korban tidak menguatkan hati.
Siapa Saya?
Pertanyaan “Saya siapa?” seharusnya menjadi refleksi bagi pelaku kekerasan verbal. Memang “saya ini siapa?”. Kenapa mesti gemar menghakimi orang lain dan keadaan dengan kacamata sendiri dalam aura absolut. Apalagi dengan kebiasaan menghardik, menghukumi, menyesat-nyesatkan, melabeli, dan sederet kata-kata digdaya. Seolah diri berada di atas tahta kebenaran nan agung. Padahal, Nabi yang maksum dan dinobatkan Allah sebagai uswah hasanah, begitu rendah hati dan bijaksana. Semuanya bersumber persepsi pelaku kekerasan verbal terhadap korban.
Apa itu persepsi?
Persepsi adalah proses di mana kita menafsirkan informasi sensoris yang kita terima dari dunia di sekitar kita. Sederhananya, ini adalah cara kita memberi makna pada apa yang kita lihat, dengar, rasakan, cium, dan rasakan. Proses ini bukan hanya tentang menerima informasi, tetapi juga tentang mengolahnya berdasarkan pengetahuan, pengalaman, dan keyakinan kita.
Bagaimana Persepsi Terbangun?
- Stimulus: Kita menerima informasi melalui indra kita, seperti penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan sentuhan.
- Pengorganisasian: Otak kita mengatur informasi ini menjadi pola dan makna.
- Interpretasi: Kita menafsirkan informasi berdasarkan pengalaman, pengetahuan, dan keyakinan kita.
- Persepsi: Kita membentuk persepsi tentang apa yang kita rasakan.
Profesor Dustin Wood, seorang psikolog ternama dari Wake Forest University, North Carolina, mengungkapkan sebuah pernyataan menarik mengenai hubungan antara persepsi terhadap orang lain dan kepribadian individu.
“Persepsi Anda mengenai orang lain sangat mengungkapkan kepribadian Anda.”
Pernyataan ini dilandasi oleh hasil penelitiannya yang menunjukkan bahwa cara kita memandang orang lain dapat mencerminkan berbagai aspek kepribadian kita, seperti tingkat kebahagiaan, rasa cinta, narsisme, dan kecenderungan anti-sosial.
Penelitian Wood menemukan bahwa individu yang cenderung melihat orang lain secara positif umumnya memiliki kepribadian yang lebih baik, seperti lebih bahagia, puas, dan memiliki rasa cinta yang tinggi. Sebaliknya, mereka yang lebih sering menilai orang lain secara negatif, berpotensi memiliki masalah kepribadian seperti narsisme, anti-sosial, depresi, dan gangguan kepribadian lainnya.
Islam Mengajarkan Kasih Sayang dan Toleransi
Dalam Islam, terdapat banyak ajaran tentang bagaimana kita harus berinteraksi dengan sesama. Rasulullah SAW bersabda, “Salah seorang dari kalian dapat melihat kotoran kecil di mata saudaranya tetapi dia lupa akan kayu besar yang ada di matanya.” (HR. Bukhari). Hal ini mengingatkan kita untuk tidak mudah menghakimi dan selalu introspeksi diri. Pepatah “di atas langit ada langit” mengingatkan kita untuk selalu rendah hati dan tidak merasa paling benar.
Marilah kita ciptakan lingkungan yang penuh kasih sayang dan toleransi. Hindari kekerasan verbal dan gunakan kata-kata dengan bijak. Ingatlah bahwa setiap orang berhak diperlakukan dengan hormat dan bermartabat dimanapun dan kapanpun.